Salam Perdamaian

Mari kita berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan, karena setiap kebaikan tidak akan pernah ada penyesalan

assalamua'laikum warohmatullah wabarokatuh

selamat datang kawan, salam kenal dan shilaturrohim

Sabtu, 27 Maret 2010

Maulid Nabi

MENELADANI RASULULLAH SAW.

Sejarah, Peradaban , Ajaran, Akhlak dan Relevansinya Dalam Kehidupan Modern

By Ahmad Syakur Isnaini, S.Ag[1]

IFTITAH

Ratusan tahun sebelum Muhammad SAW dilahirkan, berita akan datangnya seorang Rasul terakhir telah menyebar luas dikalangan masyarakat Arab, khususnya dikalangan para rahib dan tokoh agama. Disamping karena adanya keyakinan bahwa disetiap zaman yang sangat rusak pasti akan lahir seorang nabi terakhir, juga termaktub dalam kitab-kitab lama mereka yang terperinci secara jelas. Sehingga mereka bukan sekedar mengetahui tetapi ingin dekat dengan Nabi akhir zaman itu. Salah satu impian kaum saat itu adalah harapan agar nabi akhir zaman itu terlahir dari keturunannya. Maka untuk mewujudkan impian itu, banyak kaum yang melakukan migrasi dari kampung halamannya, untuk mencari tempat yang disebutkan ciri-cirinya oleh kitab-kitab lama.

Ada beberapa tempat yang saat itu menjadi pilihan para pencari nabi akhir zaman. Tempat-tempat itu antara lain adalah Mekkah, Madinah (Yathrib) serta Yaman, disamping juga Yerussalim atau juga Damaskus. Khusus diwilayah Madinah, banyak imigran yang berasal dari kaum yahudi, seperti Bani Nadhir, Quraizdoh, Qoinuqo’ dan suku-suku kecil lainnya.

Hingga pada suatu pagi, sebagaimana aktifitas yang telah diberlakukan semenjak zaman nabi Ibrahim a.s, setiap bayi yang lahir pada saat itu segera di-thawaf-kan. Ini tidak lain untuk mendapatkan hidup yang penuh barokah, yakni bertambahnya kebaikan lahir dan batin, serta mengharapkan kemuliaan dan petunjuk dari Allah s.w.t. Tidak terkecuali bagi seorang Sayyid Abdul Muththalib, yang terkenal masih bersih dalam urusan teologi. Begitu mengetahui cucu laki-lakinya lahir, maka segeralah beliau membawa bayi itu menuju Ka’bah, lalu Thawaf, membawa bayi itu mengelilingi Ka’bah tujuh kali sambil berdoa kepada Allah s.w.t.

ARAB JAHILIYAH DAN ISLAM

Secara geografis masyarakat Arab pra Islam pada dasarnya merupakan masyarakat yang terisolir dari dunia, berada diantara gurun dan lautan. Namun demikian hal tersebut tidak menghalangi bangsa Arab untuk bersosialiasi dengan bangsa-bangsa lainnya, baik secara ekonomi, peradaban ataupun pendidikan.[2] Hal ini dikarenakan Jazirah Arab berada pada jalur persimpangan peradaban yang ada di dunia; Persia dan Romawi yang sedang berebut pengaruh dan peradaban Yunani dan Hindi ( India ) yang sedang mengalami keredupan.[3] Komunikasi mereka paling intensif bisa dilacak melaui jalur perdagangan,[4] lahirnya kota-kota yang bertetangga dengan Persia dan Romawi[5] dan berkomikasi dengan agama Yahudi dan Nasroni yang sedang gencar menyeberakan ajaran agamanya di semenanjung Arab.[6]

Sehingga istilah zaman jahiliyah yang dinisbatkan kepada bangsa Arab pra Islam tidaklah identik dengan kebodohan sebagimana makna secara bahasa. Tetapi lebih tepatnya kata Jahiliyah dihadapkan dengan kata Islam. Kata Islam berasal dari kata سلم yang kemudian membentuk kata الاسلام yang bermakna keselamatan dan perdamaian, kebalikan dari peperangan dan permusuhan. Al-Qur’an menjelaskan dalam surat al- Furqon; 63 :

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا

Adapun hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan dimuka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka ( dengan kata-kata menghina ), mereka mengucapkan, “ salam”. “

Ayat ini memberikan pengertian tentang pemberian zaman sebelum Rasulullah diutus sebagai Nabi dan Rasul sebagaui zaman Jahiliyah, dan zaman ketika Rasulullah disebut dengan Islam.[7] Dengan demikian istilah zaman jahiliyah bukanlah bodoh kebalikan dari al-Ilmu, tetapi kebodohan dalam arti assafah ( sedikit berpikir ), al-Ghodhob ( keras ) al-Mufakhoroh ( kesombongan ) dan al-Anafah ( bengal ).[8] Sifat –sifat zaman seperti inilah yang dijumpai pada bangsa Arab pra Islam. Maka kemudian zaman itu dinamakan zaman jahiliyah.

PERADABAN ISLAM ; IMAN, ILMU DAN AKHLAK

Al-Qur'an telah merekam sebuah zaman yang sangat gelap. Kebodohan dan kesombongan menjadi kebanggaan. Anak-anak kecil laki-laki yang baru lahir dibunuh begitu saja. Fir'aun yang pada waktu itu paling berkuasa mengaku dirinya tuhan. Pada saat yang demikian menyedihkan itu Allah lahirkan seorang anak kecil, yang bernama Musa, di mana kelak ia terpilih sebagai Nabi yang mengajarkan kebenaran, membangkitkan kemanusiaan, dan menyelamatkan manusia dari kesesatan.

Jauh setelah zaman itu, pada pertengahan abad ke enam Masehi, muncul sebuah zaman yang sama. Syeikh Abul Hasan Nadwi melukiskannya sebagai puncak zaman hancurnya kemanusiaan. Akal yang Allah berikan kepada mereka, digusur dengan minuman-minuman keras yang sangat merajalela. Manusia pada waktu itu tidak lagi berjalan dengan akalnya, melainkan disetir oleh hawa nafsu kebinatangannya. Yang kuat memeras yang lemah. Wanita tidak lagi dianggap sebagai manusia, melainkan semata simbol seks dan pemuas hawa nafsu. Akidah yang dibawa para Nabi sebelumnya, lenyap ditelan kebodohan. Mereka tidak lagi menyembah Allah, Pencipta alam semesta, melainkan menyembah patung-patung yang mereka ciptakan sendiri. Buku-buku suci yang dibawa para Nabi, seperti Injil, mereka gerogoti kewahyuannya, sampai-sampai Abraha dengan kepongahannya hendak menghancurkan Ka’bah.[9]

Pada zaman seperti inilah Muhammad SAW di utus oleh Allah SWT untuk membawa risalah-Nya, kepadanya Allah SWT menurunkan al-Qur’an sebagai petunjuk kehidupan. Sebagaimana namanya Islam, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW memberikan pola pikir dan haluan hidup yang sama-sekali baru untuk ukuran kala itu. Sebagai kebalikan dari jahiliyah, maka era Islam yang dibawa adalah era ketaatan kepada Allah SWT. Seorang Muslim adalah setiap orang yang taat dan tunduk kepada Allah.

Diantara ajaran-ajaran Rasulullah yang sampai kepada kita terdapat 3 hal penting menjadi lanasan utama; Pertama, Akidah yang merupakan bentuk afal qulub ( perbuatan hati ) ; yakni keyakinan kepada Allah sebagai satu-satunya Dzat yang wajib ditaati dan Rasulullah sebagai Utusan-Nya yang juga wajib diataati dan di imani. dan dipatuhi. Kedua, Syar’iyah yaitu segala hokum-hukum Syari’at yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf. Ketiga adalah Akhlak; yang merupakan gabungan keduanya afal al-Qolbiyah dan afal al-Mukallafin.

Tiga ajaran dasar inilah yang kemudian mampu merubah pola pikir dan peradaban bangsa Arab menjadi lebih baik. Dari menyembah berhala menjadi menyembah kepada Allah SWT, dari sifat kesukuan dan fanafik yang berlebihan menjadi lebih membawa rahmat bagi semesta alam. Min azdzdulumat ila an-Nur ( dari zaman kegelapan menuju cahaya terang benderang ). Sebagaimana persaksian atau syahadat laa ilaha illallah. Bahwa tidak ada ketundukan, kafanatikan, kebenaran, dan segala hal yang dipertuhankan kecuali hanya Allah SWT.

INDAHNYA AKHLAK RASULULLAH

Untuk menggambarkan indahnya akhlak Rasulullah, maka tidak cukup muat halaman sekecil ini. Sebagaimana sahabat Umar ketika ditanya oleh seorang baduwi tentang sosok Rasulullah; hanya menangis tak mampu menjawab dan mengambarkannya dengan ikatan kata. Seakan kata-kata tidak lebih bermakna dan melampaui keindahan pribadi Rasulullah SAW. Sehinnga seorang badwi tadi disusruh menghadap kepada sayyidah Aisyah. Tapi begitu pula Aisyah, yang keluar dari bibirnya hanya ucapannya yang terkenal كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنُ ( akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an )[10]

Allah SWT sendiri memberikan pujian kepada Rasullulah dalah al-Qolam : 4

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيم

Dalam sebuah riwayat Rasulullah sendiri mengatakan :

أَنَّهُ قَدْ بَلَغَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ حُسْنَ الْأَخْلَاقِ[11]

Lebih ringkasnya, dalam mengkaji kepribadian Rasulullah saw ini kita bisa menyimak salah satu ayat dalam al Qur’an, yaitu surat at Taubah ayat 128 yang artinya « Telah datang kepada kalian, seorang utusan dari golongan kalian sendiri, ia merasa berat atas segala sesuatu yang menimpa diri kalian, selalu mengharapkan kebaikan atas diri kalian, dan ia adalah sosok penyantun dan penyayang kepada orang-orang yang beriman «.(Qs. At Taubah : 128)

Imam ar Razi (w: 1209 H / 606 M) dalam buku tafsirnya yang diberi judul Mafatih al Ghoib memaparkan bahwa ada empat kepribadian Rasulullah yang dijelaskan dalam ayat ini[12] :

Pertama, keberadaan Rasulullah dari jenis makhluk manusia, adalah suatu keistimewaan tersendiri bagi makhluk Allah yang bernama « manusia ». Dengan diutusnya Muhammad (yang seorang manusia) sebagai seorang rasul, akan mempermudah komunikasi dan interaksi antara rasul dan umatnya.

Kedua, Rasulullah selalu merasa berat hati akan perkara-perkara negatif yang menimpa umatnya. Sebagian ulama mengartikan penggalan ayat ini, bahwa ia merasa susah dan berat hati apabila umatnya melakukan dosa dan maksiat kemudian tidak segera bertaubat.

Ketiga, Rasulullah selalu mengharapkan yang terbaik dari umatnya, keberhasilan baik di dunia maupun di akhirat, perhatian ini setidaknya mencontohkan betapa besar waktu, tenaga dan pikiran yang dicurahkan olehnya untuk memperhatikan kondisi umatnya, bukan hanya sebatas perhatian terhadap kondisi keluarga, kerabat atau koleganya saja, akan tetapi mencakup seluruh umat yang beriman.

Keempat, dalam ayat ini, Rasulullah diberi gelar dengan dua Asma al Husna (nama-nama Allah) secara sekaligus, yaitu sifat Rauf (penyantun) dan Rahim (penyayang). Kedua sifat ini telah menguatkan misi Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah, sebagaimana ditegaskan dalam ayat yang lain « Sesungguhnya saya tidaklah mengutus engkau kecuali sebagai kasih sayang bagi sekalian alam « (Qs. al Anbiya: 107)

ٍ

IKHTITAM

14 abad lebih Islam telah hadir membawa pencerahan. Kini kita sedang berada di sebuah zaman yang kembali penuh dengan proses penghancuran kemanusiaan, mirip dengan zaman jahiliyah sebelum Nabi SAW dilahirkan. Minuman keras disahkan, aurat wanita dipertontankan. Yang kuat memeras dan menghanguskan yang lemah. Ajaran Allah dicampakkan. Orang-orang yang mencintai Allah dicemoohkan dan dipersulit jalan hidupnya.

Derasnya arus informasi menuntut kita lebih giat menyuarakan kebenaran dan waspada atas berbagai efek negatif era global. Maraknya gerakan radikalisme agama merupakan salah satu dampak negatif globalisasi yang kini menjadi tantangan terberat dakwah Islam. Hampir-hampir umat Islam digiring untuk membenci kelompok non-Islam dan diprovokasi untuk berkonflik dengan aliran-aliran yang berbeda dengan arus utama. Jika fenomena ini dibiarkan, maka umat akan tercabik-cabik karena kebencian dan permusuhan.

Oleh karena itu, momentum Maulid Nabi Muhammad Saw dan keluhuran akhlak beliau dalam berinteraksi dengan kawan dan lawannya harus menjadi rujukan dakwah. Dengan semangat itu, kita berharap dapat menebar dakwah Islam dengan penuh kedamaian, sehingga dapat menopang toleransi beragama. Keluhuran akhlak Rasulullah Saw. itu kini mesti tercermin dalam sikap para pendakwah agar Islam menjadi rahmat semesta alam.

Aku mengangis dan semakin keras tangisanku

Karena rinduku padamu wahai kekasih

Cintaku dan rinduku terus membara didalam hati

Namamu wahai kekasihku, takkan pernah sirna didalam hati

Jadilah engkau pelindungku dan penolongku

Sungguh cinta ini kan terus mengalir

Hanya satu penyejuk hatiku

Cinta ini adalah pelipur laraku



[1] Makalah ini disampaikan dalam acara Halaqoh Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Pondok Pesantren Al-Anwari pada malam Jum’at tanggal 12 Robiul Awwal 1431 H. / 25 Pebruari 2010 M.

[2] Lihat Ahmad Amin, Fajrul Islam, hal. 12. Secara garis bessar bangsa Arab terbagi menjadi katagori ; بدو ( pedalaman ) dan حضر ( Kota ) lihat Al-Siroh Nabawiyah Durus wa Ibar fi Tarbiyah al-Ummah wa Bina al-Daulah , Jilid III, Hal. 17

[3] Realitas keempat peradaban tersebut bisa digambarkan, bahwa peradaban Persi sedang mengalami kelesuan dibidang agama dan filsafat yang saling bentrok antar lainnya. Disana terdapat agama Zoroaster yang ajarannya membolehkan seorang anak lelaki mengawini ibu, anak perempuan atau saudara perempuannya. Sedangkan Romawi tenggelam dalam menyalahi ajaran agama dan nafsu imprialisme bahkan dengan dukungan militer mereka melakukan petualangan dan penjajahan dengan berlindung atas nama penyebaran agama Nasroni. Sementara Yunani benar-benar tenggelam dalam praktek pemikiran tahayyul. Adapun Hindi sebagaimana pendapat al-Ustad Abu Hasan al-Nadwi, berada pada tarap paling rendah, baik dari segi agama, akhlak dan sosial. Penjelasan ini bisa dilihat dalam DR.Muhammad Sa’id Romadhon al-Buthi, Fiqhu al-Siroh, Dar al-Fikr, Beirut, hal. 37-38.

[4] Semenenajung Arab merupakan jalan sutra perdagangan yang menghubungkan dengan Negara-negara lainnya seperti Syam dan Mesir baik melalui laut maupun darat. Lihat ibid

[5] Jazirah Arab terletak diantara dua peradaban yang sedang bertarung saat itu, yakni Persi di sebelah Timur yang berbatasan dengan sungai Trigis bertemu dengan padang Syam dan Palestina, sedangkan Peradaban Romawi diselah barat, yang berbatasan dengan Laut Merah . melalui dua jalan inilah produksi barang-barang dari Barat diangkut ke Timur dan sebaliknya. Sehingga daerah pedalaman mendapatkan kemakmurannya. Tetapi bukan berarti mereka mendapatkan referensi terhadap semenanjung Arab, karene begitu sulitnya menempuh daerah-daerah padang sahara dan pegunungan bebatuan yang tandus. Disamping juga karena daerah sahara yang tandus memiliki karakter masyarakat yang tidak mau diatur ataupun tunduk pada aturan manapun juga. Diantara jazirah Arab yang dikenal hanyalah daerah Yaman karena terkenal subur tidak seperti daerah Arab lainnya. Penduduknyapun terkenal berpengetahuan luas. Karena itulah baik Rumawi maupun Persi merasa tertarik untuk menundukkannya. Lihat ibid hal. 16. sebagai bandingan lihat Muhammad Husain Haikal ( Ali Audah; Penterjemah ), Sejarah Hidup Muhammad, Litera AntarNusa Jakarta, hal. 9-16

[6] Ahmad Amin, op.cit hal. 23-25

[7] Pengertian semacam ini murni dilihat dari segi kebahasaan

[8] Lihat Ibid ; 69

[9] lihat Abul Hasan Al Nadwi ; Al-Sirah Nabawiyah, Mansyuratul Maktabah Al Ashriyah, Bairut, 1981, hal. 19-67

[10] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Muslim, Syarah Shahih Muslim Lin Nawawi (6/25) , Abu Daud dalam Sunan-nya(2/40), An Nasaa’I dalam Sunan-nya (3/199), Ad Darimiy dalam Sunan-nya (1/345).

[11] Imam Malik, Al-Muwatha’, II, Dar al-hadits, Cairo, hal. 690

[12] Lihat Imam al-Razi, Mafatih al-Goib, Maktabah Syamilah, XVI, hal. 186 - 189